Tuesday, February 12, 2013

Learning Disorders



What are learning disorders?
A student may have a learning disorder if his/her achievement in reading, writing, or mathematics falls below what is expected for the child's age, grade level, and intelligence. To be called a learning disorder, the problems must have a negative impact on the person's academic success or another important area of life requiring math, reading, or writing skills.

What are the different types of learning disorders?

There are three major types of learning disorders:
  • Reading disorder
  • Mathematics disorder
  • Disorder of written expression
What signs are associated with learning disorders?

In addition to the problems associated with the specific type of learning disorder, many students also suffer from:

  • Low self-esteem
  • Socialization problems
  • Increased dropout rate at school
Learning disorders may also be associated with:
  • Conduct disorder
  • ADD and ADHD
  • Depression
Do learning disorders affect males, females, or both?

Learning disorders can affect both males and females. However, in the United States more boys than girls are diagnosed with learning disorders.

At what age do learning disorders appear?

Although learning disorders are most likely present when a child is quite young, the specific type of learning disorder is usually diagnosed in early elementary school when reading, math, and writing begin to be used in the classroom.

How prevalent are learning disorders in our society?

About five percent (5%) of students in the United States have learning disorders.

How are learning disorders diagnosed?

Because standardized, group testing is not accurate enough for this purpose, it is very important that special, psychoeducational tests be individually administered to the child to determine if he/she has a learning disorder. In administering the test, the examiner should give special attention to the child’s ethnic and cultural background.

How are learning disorders treated?

Learning disorders are treated with specialized educational methods. In addition to special classroom instruction at school, students with learning disorders frequently benefit from individualized tutoring which focuses on their specific learning problem.

What can people do if they need help?

If you, a friend, or a family member would like more information and you have a therapist or a physician, please discuss your concerns with that person.

Sunday, January 20, 2013

CONTOH-CONTOH HIKAYAT




BILA suatu saat anak cucuku bertanya kenapa aku menuliskan kakawin ini, adakah mereka tahu jika telah kusuling dendam kesumatku menjadi puji-pujian memabukkan dalam kakawin ini?”
Dadanya berdegup kencang menyaksikan hasil karyanya selama ini. Udara pegunungan sore hari terasa semilir. Mestinya bisa mendamaikan kekisruhan dalam dirinya. Sayang, ia diliput bayang-bayang kelam masa lalu. Pertanyaannya lesap begitu saja pada angin semilir yang tak juga mendamaikan hatinya, pada keping demi keping penghinaan seperti yang ia terima pada sidang para pujangga di depan Baginda beberapa tahun lalu, peristiwa pahit yang kini tetap saja bagai tiada berjarak dan terus meluapkan amarah. Di tiap keping penghinaan itu seolah terdedah rabu, memanaskan darah dan mendesirkan hati. Kulit mukanya terasa terus menerus terkelupas bila membayangkannya.
“Demi tujuh turunanku kelak, aku, yang oleh mereka disebut Prapanca, tak akan melupakan ucapan mereka di depan Baginda Raja. Hanya aku seorang yang memamah dendam ini, selamanya,” ikrarnya ketika ia meninggalkan istana.
Sungguh menggelikan bila dipikir-pikir sekarang. Ia putar kedua biji mata tuanya menikmati alam pegunungan. Ia biarkan cantrik-nya, seorang remaja tanggung yang menemani di kaki gunung ini, pergi entah ke mana. Tak biasanya ia membiarkan cantrik polos itu bermain-main tiada guna. Bila telah selesai melakukan berbagai pekerjaan, ia meminta pada remaja tanggung itu membaca kitab-kitab kuno di dalam ruangan belajarnya atau menyalin tulisannya ke kain sutera. Ah, kenapa ia harus memaksakan sesuatu hal yang belum tentu bisa diterima oleh orang seusianya? Dunia anak kecil seperti cantriknya itu adalah ladang dan teman-teman sebaya, bukan pekerjaan serius seperti yang ia lakukan saat ini. Aih, betapa waktu membuatnya makin tak menyadari segala hal, Semakin uzur ia merasa makin takut kehilangan segala hal sementara pada saat bersamaan ia telah banyak kehilangan berbagai hal tersebut. Sungguh menjengkelkan.
Berpuluh tahun ia telah bersusah payah mengikuti setiap anjangsana baginda Hayam Wuruk ke wilayah-wilayah bawahan, bahkan sampai ke mancanegara. Tiada kurang ia menjelaskan pada Sang Putra Langit betapa seluruh negeri telah makmur di bawah dulinya, betapa rakyat tenang dan berwajah sumringah selalu, tiada peperangan atau pencurian. Gemah ripah loh jinawi. Ia haturkan tembang-tembang terbaik yang mampu ia ciptakan, tentang air hujan yang menjadi tirai mutiara, atau matahari yang laksana cahaya gaib raja dan tunduk pada titah paduka. Tapi apa kata mereka semua dalam persidangan para pujangga itu.
“Tampaksara, Tampaksara, kau tak bisa membuat kakawin! Kau tetap lelaki kasar dari desa. Yang meluncur dari mulutmu hanya lagu-lagu pujian rakyat jelata. Tak layak dihaturkan kepada duli paduka,” seru Mpu Dwipayana.
Nada suaranya menggelegar bagai petir, meresap ke liang telinganya seperti amukan Dewa Agni.
“Kau mau mencari muka di depan Baginda? Ah, mengimpi! Kau bukan dari kelas brahmana. Tiada sedikit pun kau mewarisi kesaktian dan mantra dari jalinan kata-kata seperti kami. Kau hanya cantrik gagal Resi Sedapati, brahmana gunung yang hanya tahu bertapa itu,” ujar Wikana.
Ketika ia berani mencuri pandang ke arah sang Baginda, ia mengunci mulut, menatap lurus padanya tanpa menghakimi ataupun membela. Dewa Batara, duka apa yang harus kutanggungkan ini? Di hadapan para pujangga, hanya Resi Jagat Maya yang bisa mendinginkan suasana, dan menatap lembut padanya yang telah menjadi kambing congek.
“Sudahlah. Tampaksara, sekarang pergilah ke pertapaan gurumu, dan mawas diri di sana agar kau bisa memahami laku raja dan dunia, memahami dunia seluruh kaum,” katanya.
Kini getir di mulutnya terasa makin keras oleh warna-warna kelam dan jingga langit.
“Jagad Dewa Batara, Penguasa Alam Raya, bumi Jawa tiada lagi memiliki penghargaan layak pada para kawula yang mengabdi dan memberikan sembah bakti pada Sang Raja. Setelah Sang Airlangga wafat, siapa lagi yang mampu menghidupkan pandangan bahwa semua manusia setara? Prabu Hayam Wuruk kuharapkan mewarisi kebesaran Sang Airlangga. Namun apa mau dikata? Ia dikelilingi oleh para pujangga dan kaum brahmana, golongan yang memiliki keagungan pejal dengan menistakan kaum di bawahnya. Betapa diri ini tersiksa!”
“Kau pantas mendapat sebutan baru, wahai Pertapa Gunung. Prapanca, ya, kaulah Prapanca. Tahukah engkau arti Prapanca? Cakapnya lucu, pipinya sembab, matanya ngeliyap dan gelaknya terbahak-bahak. Kau terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru atau menjadi panutan. Sifatmu adalah bodoh, tak menurut ajaran tutur, dan pantasnya dipukul berulang-ulang,” sebut Mpu Dwipayana.
Sembari berbicara, ia menirukan segala mimik wajahnya seperti badut, membuat seluruh hadirin di istana tertawa-tawa seperti melihat sebuah pementasan para pelawak.
Ibu, kutuk apa yang kau timpakan padaku? Bukankah ketika aku berada dalam kandunganmu, Sang Hyang Jagat telah mewariskan dalam diriku cahaya keagungan yang terpancar ketika kau mengandungku, cahaya yang berpendar-pendar ketika kau hendak tidur. Ibu, apakah kau telah timpakan kutuk padaku sebab telah meninggalkanmu tanpa pulang, tak menyembah kaki sucimu dan menyambangi abu sucimu. Oh, betapa swargaloka di bawah telapak kakimu itu telah menistakan aku.
Ia menyentuh seloka terakhir yang dituliskan. Semuanya ada sembilan puluh empat seloka. Dari tiap seloka, seolah darah mengalir dari tubuhnya, membuka kembali luka-luka yang berusaha ia kubur dalam ketenangan yoga, namun juga luka yang tak pernah bisa terobati. Air menderas dari kedua kelopak matanya, menghilir di wajah perempuan bermata mutiara yang terbayang di pelupuk matanya. Berpuluh-puluh tahun sudah ia melupakan di mana kuburnya. Panggilan pulang lewat mimpi demi mimpi hanya singgah sebentar dalam pertimbangannya. Ia terlalu suka bertualang, menghamba pada kekosongan, takhta yang tak memberi apa-apa padanya selain penghinaan.
Sekali dalam hidupnya, pernah ia menemani Mpu Winada yang tinggal di kaki Gunung Mahameru. Betapa ia baru memahami palapa yang ditakutkan oleh Winada. Lelaki itu tiada silau oleh gemerlap kuasa, tak lekang oleh goda dunia dan selalu bertekun dalam tapa. Sepuluh musim tinggal bersamanya, ia tahu bagaimana lelaki itu membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina, tak mendebat atau meremehkan orang-orang yang puas dalam ketenangan dan menjauhkan diri dari dari kesukaan pada sesuatu benda maupun kewibawaan, tiada mau mencacat.
Kini, apa yang ditulis, mengapa kulit mukanya terasa terbakar? Ia diliput dendam, dan menghina diri sendiri karena dendam pada semua dan segala?
“Jagad Dewa Batara, setelah kutuliskan kakawin ini, apalagikah yang bisa kulakukan untuk membersihkan diri dari segala cacat dunia? Ibu, Mpu Winada, ampunkan ketamakanku dalam memuaskan dendam,” ia terus merintih dalam selimut senja.
Mulutnya makin getir. Ia tiada terdorong sedikit pun atas suatu perasaan cinta bakti kepada Baginda dalam menuliskan kisah perjalanan Sang Raja. Lagipula, untuk apa menghamba pada raja tanpa alasan? Ia membuat puja sastra ini dengan berkorban rasa, dan walaupun bersiap akan kembali ditertawakan, lebih dikarenakan oleh balas dendam. Jauh pada masa kecil, ia telah mendengar dari mulut ibunya tali tak putus yang telah menghanguskan dan meluluh-lantakkan bumi Jawa.
“Tiada lain, Nak, karena tali dendam mengikat kita semua, terutama orang-orang di lingkar kuasa dan kata. Tiada hari bagi mereka tanpa memikirkan bagaimana mengagulkan diri di hadapan orang, sembari mematikan orang lain. Tiada mereka menggunakan pedang atau tombak kecuali atas nama darah keluarga dan kemegahan kuasa. Manusia alangkah menyakitkannya hidup dalam temali dendam semacam itu.”
“Apakah tali itu menakutkan dan menyesatkan kita semua?” ia bertanya dengan bola mata membeliak karena tak mampu menjangkau apa yang dikatakan perempuan bermata mutiara itu.
“Aku bertahan hidup karena dibiayai oleh dendam, Nak. Semenjak ayahmu tiada, kau mesti tahu bagaimana aku dihinakan oleh kerabat dan sanak saudara. Kau tahu muka-muka mereka. Ingatlah, manusia semakin cantik, ia semakin licik. Manusia semakin tampan, ia semakin kejam tiada tandingan. Makin berkuasa, makin lihai ia menindas kita. Dalam satu masa hidupku, aku bersumpah atas nama Hyang Widhi supaya bisa meruntuhkan mereka. Namun seiring waktu, aku tahu perasaan semacam itu hanya merusak batin kita,” katanya.
Alangkah benarnya. Ia ragu untuk apakah semua daya upayanya selama ini. Apakah untuk membungkam mulut Dwipayana, Mpu Agung istana yang telah merendahkan swarga loka di bawah nafsu-nafsu serakahnya?
Ia telah melarikan diri dari lingkar kemunafikan, lari oleh nasib badan terhinakan. Kemewahan istana telah membuatnya canggung dari rakyat jelata. Hatinya gundah selama bertahun-tahun karena ketidaksenangan tinggal di dusun terpencil, berhadapan dengan kata-kata kasar dan kepolosan bagai telanjang. Tiada jarang ia nelangsa, rugi tiada mendengar ujar manis…
“Ujar manis, betapa itu juga membelenggu. Aku telah menjadi buta, tuli, tak mampu memancarkan sinar memancar dalam kesedihan seperti Mpu Winada.”
Ia teringat ajaran sang Mahamuni. Sampai sekarang tidak pernah ia resapkan ajaran sang Mahamuni akan kerendahan diri dan pengabian pada yang kecil dalam hidupnya.
“Berharap kasih sayang yang tak kunjung datang akan membuat kau cepat layu, mati sebelum sempat memiliki keturunan.”
Duh, Gusti, Jagad Dewa Batara, kenapa semua pemahaman ini baru datang setelah aku menyelesaikan kakawin ini? Ingin rasanya membakar semua kemunafikan yang telah ia tulia itu. Ia melirik pada kakawin itu dan melihat pupuh terakhir, pupuh ke sembilan puluh empat.
Kelam senja menebalkan warna jingga terakhir, membuarkan aroma kematian yang sangit di lubang hidungnya. Gegap gempita istana dan sampur di sepanjang perjalanan membahana di telinganya. Wajah-wajah angkara yang semula begitu amat dibenci sekaligus dirindukannya. Tiba-tiba ia tertawa-tawa.
?Winada, Ibu, dan sang Mahamuni, aku ini disebut Prapanca oleh para pembesar istana! Akulah memang Prapanca itu, manusia yang terus munafik, penggubah kakawin demi tujuan memuja diri sendiri! Jika tiada kutambahkan sedikit lagi pada kakawin ini dengan membubuhkan siapa aku, akan terkutuklah aku selama-lamanya. Swargaloka tiada mau menerimaku. Demi Jagad Dewa Bathara, akan kuberanikan diri membubuhkan jati diriku. Akan kuberitahukan kepada anak cucuku kelak siapa sebenarnya aku ini!? katanya pada diri sendiri, setengah berteriak di depan pondoknya.
Ia membawa masuk kakawin yang terkumpul dalam bilah-bilah bambu itu dan mulai menyalakan api, mempersiapkan alat tulisnya. Tangannya bergerak-gerak tanpa berhenti, menambahkan empat pupuh tanpa membutuhkan waktu lama.
Hari telah sempurna malam ketika ia meletakkan alat tulis terakhirnya. Baru disadari tenaganya telah luruh semua dalam karya yang telah ia dedahkan selama mengasingkan diri. Ia tak merindukan lagi gegap gempita istana, seloka-seloka yang diperdengarkan di depan baginda, gegap gempita para kawula di sepanjang anjangsana, atau perubahan musim yang tak boleh ia luputkan demi kebahagiaan pembesar kerajaan.
Angin meniup dingin. Cantriknya, seorang anak lelaki muda belia dengan raut muka cemas, masuk dan berniat membasuh kakinya. Ia merebut tempayan air dan membasuh kakinya sendiri.
“Kau dan aku sama. Kita bukan siapa-siapa. Mulai besok bantulah aku menyalin ini ke dalam daun-daun lontar atau kain sutera simpananku yang dihaiahkan seorang saudagar China. Sedapat-dapatnya tidak ada kesalahan. Ambil makanan dan kita makan bersama,” katanya dengan nada lembut.
Anak lelaki yang beranjak dewasa itu ternganga oleh sikapnya, dan hanya mengikuti perintahnya dengan gerakan tubuh tanpa roh. Malam turun di kaki gunung itu, dingin dan senyap. Keduanya bersiap makan malam, dalam satu piring. Lelaki tua itu kini merasa api panas dalam dadanya menyurut, perlahan-lahan bagai api kecil, berlenggak-lenggok tertiup angin keras.





Malam suram, tiada hadir secerca bintang pun wajah molek bulan. Ken Angrok dengan tubuh kesatria menunggangi kuda hitam, menembus alam tanpa bayangan. Menderu terjang tiada keraguan, seringkikan binatang. Menakut-nakuti kawanan srigala yang biasa bertengger di bukit kapur tua.
Hanya dedaun buta saksi geraknya. Dan angin dingin senafasan tersengal nafsu Angrok. Lewat sentakan kencang, menghabiskan malam panggang tanpa percakapan di tengah perjalanan. Bathin menggerutu nalarnya mendidih. Menguap sekabut pegunungan merapi yang mengepul seasap tobong terbakar.
Sampailah di jalanan pesisir lautan diam, batuan karang terinjak bersimpan dendam. Langkahnya terus maju menerjang, hadirkan nasibnya demi dapati ketentuan. Betapa darahnya bergolak serupa pemuda lajang tercuri hatinya, ditawan bingkai kalbu seorang wanita. Ia masih dihantui wajah cantik yang telah diperistri takdir jahannam.
Telah jauh dari tapal batas kota, pula tinggalkan bencah pasir memasuki gapura dusun. Teramat sunyi, darahnya tambah naik melampaui batas kerinduan sepi. Yang beterbangan setarikan awan-gemawan dijelmakan hujan amarah. Ia hentikan langkah kudanya di depan pendapa Empu Gandring. Sedang rumput-rumput bunga mengitari, awalnya penuh damai.
Tersentak kedatangan sang penakluk. Dengan kaki tegap turun dari kuda tanpa sungkan membuang segan, Angrok menghadap Pu Gandring. Sang Empu sudah tahu gelagat alam kurang sedap. Yang dikabarkan kembang prabusetmata atas sederet alisnya, seperti kumis kucing mengincar mangsa.
Ki Empu mencium musibah kan menimpa, pada dirinya juga pemuda tanggung yang datang tanpa sungkem.
Tapi benarkah demikian? Mari diteruskan mengikuti rekamanku kala terjaga. Ini sentakan telak menyadarkan. Bukan alur juntrung menghempas, tapi hakikat hikayat melampaui logika penembusan sejarah. Tanpa kesopanan Angrok berucap:
Buatkan aku sebilah keris terbaik kesaktiannya. Carikan batu granit demi mutu tempaan dalam, sebelum besi baja kau semat dikulitnya. Ciptakan luk tujuh, itu bilangan hari kisah kejayaan dunia. Gagangnya carikan kayu cendana yang tumbuh di tengah malam purnama. Jangan lupa rendam dengan kembang tujuh rupa, disamping taburan garam dari samudera Hindia.
Aku berharap keris tersebut tiada menandingi, setiap orang melihatnya terkesima hingga kaki-kakinya membatu setelah kesemutan. Perhatikan juga jangan lama. Setengah tahun cukup kukira. Rampung tidak aku kemari mengambilnya. Jikalau tak menurut, tentu sudah hafal siapa diriku, dan yang akan kuperbuat demi kemanusiaan kelak. Maka persiapkan keharusanmu, sebelum kunamai pengecut yang mempecundangi bakat luhur abadi.
Ki Empu minta tambahan waktu. Sebab dengan masa sesingkat itu, sebilah keris ampuh belumlah utuh. Namun perbincangan bertelingakan satu. Angrok tetap bersikeras ditepati. Dialog tidak imbang, mencederai telinga pun menjulingkan mata. Takdir berubah cepat. Angrok tinggalkan perkara tidak mudah bagi Empu juga dirinya. Yang teridam hanyalah dendam merebut Ken Dedes ke dalam pelukan.
Angrok dapat dibilang kurang gagah dibanding Tunggul Ametung. Tapi ketampanannya sanggup menyedot gravitasi para wanita, bagi memandang teriris hatinya. Semangatnya membara, menuntut keinginan jauh melampaui orang-orang sejaman.
Dengan raut kusam, Ki Empu melihat punggung Angrok tinggalkan pendapa. Seolah baru disergap malaikat maut dari segala arah, atas todongan gairah terus membuncah. Lalu Ki Empu bersemedi, menata bathiniah demi sebilah keris sakti gagasan pemuda brandal.
Siapa pembuat keris, apa benar Empu Gandring? Setiap pesanan khusus ialah sang pemesan penciptanya. Empu hanya menampilkan energi pemesan, diselusupkan dalam sebuah karya.
Denting batuan granit setempaan kekukuhan niat Angrok merebut Dedes. Olesan minyak di lempengan baja, cermin kejernihan Angrok menangkap situasi, mensiasati nasibnya menaiki gelanggang pergolakan. Setiap luk keris putaran berfikirnya Angrok dalam menyikapi tragedi jiwa, bertumpuk rindu mendendam.
Ki Empu hanyalah tangan panjangnya. Sebab tanpa keris, Ametung pun mati atas semangat Angrok. Dan perintah pembuatan senjata, sekadar penghormatan kepada keduanya. Angroklah penciptanya. Ki Empu hanya menyulap gairah Angrok menjelma lempengan bermutu sebanding sama menyala.
Siang hari, Pu Gandring mencari tetumbuhan ramuan ke hutan, malamnya melanjutkan ritual. Meliriti besi baja mengolesi minyak ajaib serta bermeditasi demi sempurna. Sebuah karya Angrok yang takkan pudar riwayatnya di tlatah Jawa Dwipa.
Di lain tempat Angrok menggalang kekuatan kudeta, agar disetujui khalayak. Para menteri ketakutan bagai tikus kali. Pengawal Ametung dianggapnya anjing-anjing lapar, sekali lempar daging memuji tuan. Angrok, insan faham meramu kesempitan berkesempatan, membalik ciut menjelma kelapangan. Selalu menilik gejala alam diri pula luaran.
Lama sudah setubuhi laguan hayat dianggapnya berdaya mengukuhkan, yang sudi menghisap makna perjalanan. Pemilik watak keras bukanlah karang, tetapi ombak melukis dinding terjal. Kesadaran bayu langkahnya. Hingga pemerhati sepak terjangnya mencemasi masa membadai tak terkendali.
Ia musikus keheningan bathin, pelukis aliran darahnya, penyair disetiap tarian lidahnya. Namun apa daya, keindahan seni mengalir di tubuhnya berasal rindu dendam paling purba. Laksana pemahat tak mapan menjadi tentara, berkesempatan terbaik mencium darah pesaingnya. Seorang ditakdirkan selalu sukses dalam suksesi. Semua jalur dilalui tertunduk nasib besarnya.
Angrok, sang revolusioner tanpa pengetahuan, referensinya tragedi sekitar dan tak diambil kecuali menggasak lebih; bibir merona, mata gemerlap, alis melengkung sepohonan bukit barisan, janggut lancip ke bawah ngarai disiram hujan. Haus percumbuannya segeraian cemara bercampur bau fajar.
Setiap malam, menghitung kalender di balik jendela remang. Sebilah keris setubuh cantik cahaya Ken Dedes, yang matanya sendu jikalau lama tak dikunjungi berkasih sayang. Enam bulan sudah menanti waktu panggilan hasrat. Di senjakala hari terakhir Pu Gandring meliritkan keris naas. Angrok menaiki kuda jantan bersuara deru mendebu beterbangan, awan-gemawan mengawasinya ketakutan.
Mengendarai kerinduan membukit pendendam akan waktu-waktu diperhitungkan. Langit makin legam, kala kalender tua tersobek hari kebangkitan. Melalui pohonan waru berkulit temali pecut, randu-randu sekapuk mayit. Melintasi pepohonan jati menegasi jati diri dan atas trembesi di bathinya membesi.
Ribuan jarak rumput terinjak, disapunya ilalang berangin juang. Batu-batu tangga kesaksian, telaga dilihatnya memalingkan air muka. Angin dingin berhembus jinakkan nyali tetumbuhan sekitar pendapa. Ki Empu gemetaran mendapati firasat pahit menjemputnya pulang, ke negeri sangat asing dari pesawahan.
Kesahajaannya runtuh atas perasaan berkecamuk tanpa tahu gerangan kan terjadi. Teringatlah siang-malam melilit keris demi pemuda deladapan menggapai keyakinan. Dan sebelum rampung menghafal raut Angrok. Turunlah sedari kuda takdir. Dehem keras seguntur menakuti langit, kilatan matanya selaksa petir menyambar ke sudut-sudut terpencil.
Sampailah suara Angrok ke telinga; wahai Ki Empu perkasa, penyimpan kearifan pendahulu utama, di manakah kerisku? Aku telah menunggu hingga membatu tekatku, penantianku menimbulkan kesurupan setiap kali mengingat.
Terngiang harapanku sejarah anak manusia tanpa penghulu, menghujam meminta seorang pujaanku. Nilai terkandung abadikan dirimu dalam catatan waktu. Bersyukurlah kuberi tugas, tak semua orang kuperintah selain yang mulia.
Itu keagunganmu, aku tak pernah mengangkat tinggi penghormatan sebelumnya. Maka di manakah hakku?
Sabar duru anak muda; kata Pu Gandring. Keris yang kau pesan itu belum kulambari asmak kepurnaan. Apa jadinya tanggung sekawanan mendung keraguan, kan mendatangkan petaka. Namun Angrok gelap mata, direbutnya keris dari tangan Gandring atas nafsu membara. Sang Empu bersikukuh memegangi.
Angrok lantang berkata; Hai Ki Empu, keris itu jiwaku. Kau tak mungkin bisa menciptanya tanpa semangatku. Itu bukan hakmu dan kewajibanmu memberikan padaku. Kau telah kuberi kebesaran mencipta apa maumu, namun kenapa sekarang angkuh. Adakah kau cemburu atas keris itu, dimana sebagai penjelmaan kepribadianku?
Kala Pu Gandring mendengar ocehan Angrok, terlena sebocah dirayu janji gula-gula. Tidak disia-siakan merebut paksa. Tapi Empu bukan sembarang orang, gesit menampilkan halau serbuan. Bertarung pun jadi. Keduanya berebut keris jati diri. Takdir telah digariskan, hari dimana Angrok membunuh. Maka segenap dinaya Gandring hanya pertahanan mencapai titik lelah. Sedang perburuan Angrok sudah tertandakan langit paling malam, pun kedalaman lautan sangat kejam.
Dalam sekarat melaknat; Angrok. Aku telah kau tikam keris itu, maka kau dan ketujuh anak turunmu, kelak binasa dengan keris itu juga. Angrok menyesali tindakannya terlalu gegabah, mencipta takdir lain dan kutukan menjadi kenyataan esok. Bukan lantaran kesaktian Gandring, tetapi sesal menghantui Angrok dibawahnya pulang terlaksana. Rasa bersalah, ialah maut bersimpan perasaan was-was gentayangan.
Angrok menemui Ken Dedes di puri. Tanpa sepengetahuan keduanya, Tunggul Ametung menyaksikan mereka saling berkasih rindu, menghabiskan waktu menjelang senja ungu. Ametung mengawasi serupa kelinci mengendap-endap. Senja larut mengumpulkan kesumatnya, tetapi tak mau menumpahkan saat itu juga. Lantas malam pun terjadi.
Malam kamis kliwon Ametung terjaga, mondar-mandir di ruang tengah. Menggaruk kepala bukan apa, serasa ada yang mau hilang darinya. Dedes tertidur pulas mengimpi hari esok bersua kembali, dengan Angrok pujaannya di puri. Malam itu Ametung tak melihat wajah istrinya, Dedes pun tak hawatir sama sekali. Seanak hilang menemui kejelasan pada raut Angrok, ialah kembang mendapati angin segar gerimis.
Ametung masih berlalu-lalang tak memasuki bilik Ken Dedes. Geramnya merencanakan pertarungan jantan, antar dirinya dengan pemuda keparat, Angrok. Dasar alur cerita telah ditentukan, Ametung tersirap ilmu megananda sang penggagas sejarah gemilang Shingosari. Tidak dapat menahan kantuk memberat, tetap tak beranjak ke pembaringan. Seolah tiada gampang menyirapnya meski sekejap.
Tapi sial, angin pagi menyergapnya dari segala penjuru. Terkantuk lelap di ruang tengah di atas kursi kuasanya. Angrok, yang menguntit sejak dari puri menyaksikan gerak-geriknya sudah mencium sedap maut. Darah Ametung telah diraup angin gerilya. Dengan leluasa, Angrok menancapkan keris Gandring atas hasratnya. Menusukkan ke uluh hati Ametung, sampai malaikat maut tak segan mencabut nyawa.
Segala endapan menerima ganjaran, yang tanggung menemui kejelasan, rindu bertemu ciuman merah. Akhirnya, penguasa tanpa diragukan takut peniruan waktu-waktu busuk, membakarnya dengan hasrat menyala. Memuji lawan sisi terang, menghargai sebagai kehormatan. Empu Gandring tanpa Ken Angrok tak kan dikenang.

Tuesday, November 6, 2012

Reduce, Recyle, and Repair (3R)

Reduce berarti kita mengurangi penggunaan bahan-bahan yang bisa merusak lingkungan. Reduce juga berarti mengurangi belanja barang-barang yang anda tidak “terlalu” butuhkan seperti baju baru, aksesoris tambahan atau apa pun yang intinya adalah pengurangan kebutuhan. Kurangi juga penggunaan kertas tissue dengan sapu tangan, kurangi penggunaan kertas di kantor dengan print preview sebelum mencetak agar tidak salah, baca koran online, dan lainnya.
Reuse sendiri berarti pemakaian kembali seperti contohnya memberikan baju-baju bekas anda ke yatim piatu. Tapi yang paling dekat adalah memberikan baju yang kekecilan pada adik atau saudara anda, selain itu baju-baju bayi yang hanya beberapa bulan dipakai masih bagus dan bisa diberikan pada saudara yang membutuhkan.
Recycle adalah mendaur ulang barang. Paling mudah adalah mendaur ulang sampah organik di rumah anda, menggunakan bekas botol plastik air minum atau apapun sebagai pot tanaman, sampai mendaur ulang kertas bekas untuk menjadi kertas kembali. Daur ulang secara besar-besaran belum menjadi kebiasaan di Indonesia. Tempat sampah yang membedakan antara organik dan non-organik saja tidak jalan. Malah akhirnya lebih banyak gerilyawan lingkungan yang melakukan daur ulang secara kreatif dan menularkannya pada banyak orang dibandingkan pemerintah.
Repair menjadikan 3R menjadi 4R. Repair memang banyak dilupakan oleh banyak orang, dan ini sebenarnya adalah hal yang terpenting di Indonesia. Repair adalah usaha perbaikan demi lingkungan. Contoh memperbaiki barang-barang yang rusak agar bisa kita gunakan kembali seperti sepatu jebol yang kita perbaiki karena dengan begitu kita tidak perlu membeli sepatu baru. Hal lain yang lebih besar adalah reboisasi atau perbaikan lahan kritis karena dengan ini kita bisa memiliki daerah resapan yang lebih besar dan menahan limpahan air yang bisa menyebabkan longsor. Penanaman bakau juga merupakan perbaikan lingkungan. Vulkanisir ban juga repair sehingga dapat kita reuse.

Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan dari repair ini sendiri dan sangat diperlukan di Indonesia. Yang terpenting adalah kreativitas dan kemauan karena tanpa keinginan yang kuat, membuang sampah di jalan pun menjadi mudah. Tapi kalau anda sudah membiasakan diri dengan hidup yang menghargai lingkungan, maka dengan mudah anda dapat menahan diri.

Wednesday, April 4, 2012

Pintar Memilih Hamster yang Sehat

  1. Mata : bagian mata terlihat cerah, jernih, tidak berair, tidak lengket, dan tidak buta. pastikan pula mata hamster bersih dari kotoran (belek)
  2. Bulu : bulu hamnster yang sehat harus terlihat bersih, rapi, mulus dan tidak ada bagian yang botak, dan tidak mudah rontok. hindari pembelian hamster yang berbulu rontok, basah, dan lepek.periksa juga bulu sekitar anus, pastikan tidak basah, kotor dan lengket, bisa jadi hamster terkena diare.
  3. Gigi: pastika gigi hamnster tidak ompong, walaupun giginya akan tumbuh lagi. dengan gigi ompong, hamster akan terganggu dalam proses makan. cara memeriksa gigi hamster dengan mencubit leher bagian belakang, lalu perlahan membuka mulutnya.
  4. Telinga: telingan yang sehat adalah telinga yang bersih, baik bagian dalam maupun luarnya, daun telinga tidak ada yang terlipat atau robek.
  5. Hidung : hidung adalah indra hamster yang paling diandalkan. penciuman hewan ini sangat kuat. jika hidungnya bermasalah, daya penciumannya akan berkurang. pilih hamster yang memiliki hidung yang bersih, tidak berlender dan tidak memiliki kesulitan bernapas.
  6. Kaki dan Ekor : pastikan semua kaki hamster berfungsi dengan baik, bersih tidak pincang atau luka. selain itu, pilihlah hamster dengan kaki yang cukup gemuk agar semakin kuat beraktivitas. pastikan pula bagian ekor tidak cacat atau terluka
  7. Perilaku : perilaku hamster yang lincah dan aktif juga menjadi pertanda bahwa hamster tersebut sehat. jadi pilihlah hamster yang terlihat sibuk bermain-main atau makan di dalam kandang.

Sunday, March 18, 2012

Perilaku Kebiasaan Hamster yang Mengemaskan



  • Aktifitas pada Malam Hari
Ya, hewan yang lucu ini di kategorika hewan malam. Karena mereka cenderung melakukan aktifitasnya pada malam hari dan pada siang harinya mereka akan tidur untuk bersitirahan. Namun ada beberapa hamster yang mulai melakukan aktivitas pada siang hari. Satwa yang mungil ini tidak tahan terhadap panas loh, seperti terik matahari. Jika dibiarkan dibawah terik matahari bisa berakibat kematian pada hamster. . 

  • Senang Menjaga Kebersihan
Dihabitat aslinya, hamster merupakan hewan yang sangat disiplin dalam menjaga kebersihan. Terbukti dari tempat tinggal aslinya dihabitan liar, dalam lubang tempat tinggalnya terdapat beberapa lubang kecil yang memiliki fungsi berbeda, ada lubang sebagai penyipan makan, lubang untuk tidur, sampai lubang untuk membuang kotorannya. Ia juga sangat menyukai lingkungan yang bersih, termasuk kebersihan tubuhnya dengan mandi pada kolam pasir. Maka jagalah kebersihkan tempat hamster. 

  • Menimbun Makanan dalam Mulut
Hewan yang satu ini memiliki pipi yang sangat elastis, mereka menyimpan makannya pada pipi dan membawanya ke tempat persembunyi atau tempat favoritnya lalu memakannya. Selain makanan dialam liar, pipi yang elastis tersebut juga digunakan untuk mengakut bahan-bahan yang lain dan juga dipergunkan untuk menakuti musuhnya.pipi yang mengelembung membuat hamster terlihat begitu lucu dan mengemaskan.

  • Tidur Terlentang
Selain tidur berguling, hamster juga memiliki kebiasaan tidur terlentang, yang  terlihat sangat mengemaskan. Sehingga terkadang membuat kita tertipu dengan aksi berpura-pura mati dengan tidur terlentang walaupun diangkat tetap akan tidur. mengemaskan bukan??

  • Berdiri di atas kedua kaki di sertai kumis yang bergerak-gerak
Kebiasaan yang satu ini dilakukan jika, sang hamster mengenali sesuatu yang menarik perhatiannya. Maklum, hamster memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi.

  • Berlari dan Berputar di dalam kincir Putar
Hamster sangat menyukai bermain kincir putar atau roda berjari hingga menghabiskan waktu 10-15 menit lamanya. Tentunya, diselingi dengan aktivitas yang lain. Hal ini yang membuat hamster terlihat sangat lucu dari pada hewan perliharaan yang hain.

  • Mengupas Makanan Sambil Terlentang
Hamster juga senang mengupas biji-biji kecil atau makan jenis kacang-kacangan mengunakan kaki depannya. Sehingga terkesan mereka mengupas sambil terlentang, padahal itu merupakan kebiasaan yang hamper semua jenis hamster memilikinya.

  • Saling Mengigit sesama Hamster
Kebiasaan ini umunya tidak meninggalkan luka karena hanya gigitan kecil atau main-main. Namun ada kalanya aksi bermain seperti ini mengarah ke dalam perkelahian serius. Hamster yang terkena gigitan akan merasa sakit dan mengeluarkan suara mencicit yang terdengar nyaring dan panjang. Hamster yang berkelahi harus segera dipisahkan agar tidak menimbulkan luka serius

Tuesday, February 14, 2012

Kata kerja Tak Beraturan

V1

abide
V2

abided/abode
V3

abided/abode
Meaning

Berdiam                         
Timbul
Bangun
Akan, ada
lahir, memikul
Memukul
Menjadi
Menimpa
Melahirkan
Mulai
Melihat
Membengkokan
Merampas
Memohon
Mengelilingi
Memesan
Menaburkan
Bertaruh
Pergi, melarikan diri
Berpikir, mengiat
Menawar
Menunggu, menati
Mengikat
Menggigit
Berdarah
blended,blent
Bercampur
Memberkati
Bertiup, menggebus
broken,broke
Memecah, mematahkan
Menternakan
Membawa
broadcast, broadcast
Memancarkan
Menggertak
Membangun
Membakar
Meledak
Membeli
Melempar
Membelah
Berharga
Merangkak
Memotong
menarik, menggambar
Meminum
Mengendarai
Menghuni
Memakan
Jatuh
memberi makan
Merasakan
Berkelahi
Menemukan
melarikan diri
fling
Melempar


Melarang
Meramal
Melupakan
Memaafkan

Melalaikan

Membeku
got / US gotten
Mendapatkan

Menyepuh
Memberi
Pergi

Mengasah
Tumbuh                                          
hung, hanged
hung, hanged
Menggantung
 have
Mempunyai
Mendengar
Mengangkat
Menebang
Menyembunyikan
Memukul
Inlay
Inlaid
inlaid
Menaruh, manata
Memegang, menyimpan
Berlutut bersujut
Merajut
Mengenal, mengetahui
lay
Menaruh
Memimpin
Bersadar
Meloncat, melompati
Mendengar, belajar
Meninggalkan
Meminjamkan
Membiarkan
Berbaring, terletak
Menerangi
Kehilangan
Membuat
Bermaksud
Bertemu
Lupa menempatkan
Menyesat
Salah mengira
Salah mengerti , salah mendengar
Menyabit
Menawar lebih tinggi
melebihi
Tubuh lebih cepat
Berlari lebih cepat
Mendung, berawan
Mengatasi
Melukiskan berlebih lebihan
Terlalu banyak makan
Bergantung
Menutupi
Mengijak-injak
Mengamati
Meleset, telanjur
Kesiangan
Menyusul, mengejar
Menjatuhkan menurunkan
Mengambil bagian
Membayar
Membuktikan
Meletakan
Meninggalkan, melepaskan
Membaca
reft , reaved
Merampok
Mendirikan kembali
Menuangkan kembali
Mengoyak
membayar kembali
Menceritakan lagi
Memasang lagi
Membersihkan
Menunggu
rang, rung
Berdering, mengepung
Terbit
rived
Merobek, membelah
Berlari
Menggergaji
say
Berkata
Melihat
Mencari
Menjual
Mengirim
Menaruh, mengatur, menyetel
Menjahit
Bergoncang
Mencukur
Mencukur, menggunting
Mengalirkan menumpahkan
Bersinar
 shod
 shod
Memasang ladam (kuda)
Menembak
Mempertunjukan, menunjukan
Mengkerut
shriven, shrived
Mengapuni, orang yang sudah mengaku dosa
Menguci, menutupi
sang, sung
Menyanyi
sank, sunk
sunk, sunken
Tenggelam
sat
Duduk
Membunuh
Tidur
slid, slidden
Longsor, melucur
Melempar
Tenggelam
Membelah
smelled / smelt
Berbau, mecium bau
mengambil hati, menghantam
Menaburkan
Berbicara, berpidato
Mempercepat
Mengeja, mengakibatkan
Mengeluarkan, menghabiskan
Menumpahkan
Menggantikan
Membelah, menceraikan
Merampas, merusak
Membentangkan, memancar
sprang
Melompat
Berdiri
Mencuri
Menempelkan
Menyengat
berbau busuk
Menyebar, menaburkan
Melangkah
Memukul, mengenai
Memberi tali senar
Menuju , mengejar     (cita-cita)
Bersumpah
Berkeringat, berpeluh
Menyapu, menghapus
Membengkak, berlaga
Berenang
Membuai, membelok
Mengambil
Merobek, menyobek
Menceritakan
Memikirkan, menyangka
Berkembang
Melempar
Menikam, memasukan
Menjejak, melangkah
Membukan, melepaskan
Mengalami
Mengerti
Memikul,  menjamil
Manggung
Melepaskan, membatalkan
Merobohkan, mengacaukan
Berjaga, bangun
Manghadang
Menenun
Kawin, menikah
Menangis
Membasahi
would
Akan
Memenangkan
Memutar, melilit
Mencabut, menarik kembali
Tidak memberi
Melawan, bertahan
Bekerja
memeras, meremas
Menulis